Jumat, 09 Desember 2011

Memilih Jodoh Berdasar Bibit Bebet dan Bobot

Dalam dunia dongeng pernikahan seorang pangeran dan seorang putri sering menjadi puncak cerita. Setelah melalui jalan berliku penuh perjuangan, akhirnya mereka berhasil mewujudkan impiannya menikah. Selanjutnya cerita usai dengan penutup bahwa pangeran dan putri itu hidup bahagia selamanya. Itu di dunia dongeng, yang memang selalu berakhir indah dan bahagia. Tapi bagaimana dengan kehidupan nyata masa kini? Sering terjadi berbeda seratus delapan puluh derajat. Setelah melalui masa – masa pacaran penuh kegembiraan, pernikahan sering menjadi awal datangnya ‘kepahitan’ dalam hidup. Tidak sedikit kita melihat pesta pernikahan yang sangat mewah dan meriah, banyak puja – puji bagi pasangan yang dikatakan sangat serasi, cocok, pas, bagai pangeran yang tampan dan putri yang cantik dll, kemudian berakhir menyedihkan. Perkawinan bahagia yang diidamkan gagal dibina. Tak peduli masyarakat biasa, artis, tokoh politik bahkan seorang tokoh agama sekalipun. Sementara pada jaman yang semakin maju dengan teknologi yang makin canggih, juga kehidupan keagamaan yang terlihat semakin mendapat perhatian besar, seharusnya memberikan kekuatan yang lebih kuat dan baik dalam mendorong setiap pasangan dalam memilih calon dan menyiapkan rumah tangganya. Namun realitasnya ternyata berbeda. Perceraian demi perceraian pasangan semakin sering kita dengar. Melihat hal itu saya mengajak menoleh sejenak kearah warisan leluhur, dalam hal ini tradisi masyarakat Jawa dalam memilih pasangan dan mempersiapkan pernikahan. ( Setiap agama senyatanya telah mengajarkan hal ini dan pastilah itu suatu kebenaran penuh dan tak terbantahkan. Maka hal ini tentunya sebagai pelengkap saja. Itu pun jika cocok.) Ada tiga hal penting dalam tradisi Jawa dalam memilih calon pasangan pasangan adalah sesuatu yang sangat penting agar tidak ‘salah’ pilih dan harapannya pernikahan adalah sekali seumur hidup. 1. Bibit Bibit berarti benih. Dalam hal ini pasangan diharapkan tahu persis siapa sesungguhnya calon pasangannya. Apakah ia berasal dari keluarga baik –baik? Bagaimana dengan keadaan fisik keluarganya, adakah cacat dalam keluarganya, baik fisik, mental maupun moral? Cacat fisik dalam keyakinan masyarakat jawa itu bisa menurun kepada anak – anak yang dilahirkan. (dalam teori ilmu yang modern, mungkin jika kecacatan dengan factor gen yang bisa menurun) Secara mental pun juga perlu diperhatikan. Misalnya jika ada salah satu keluarga yang sakit ‘gila’, biasanya keluarganya sulit untuk mendapatkan jodoh. Selain soal fisik dan mental ada satu cacat lagi yang menjadi perhatian, yaitu cacat social. Cacat social biasanya berhubungan dengan perilaku keluarganya. Misalnya adakah orang tua atau keluarga yang lain pernah terlibat criminal berat? Lebih – lebih sampai masuk penjara. Ini biasanya juga menjadi pertimbangan yang penting juga. Selain hal – hal di atas masih ada bibit lain yang perlu diteliti yaitu Perhitungan menurut neptu Saptawara dan Pancawara. Untuk penjelasan lebih jauh ada dibagian bawah tulisan ini. 2. Bebet Bebet berarti kekayaan. Dalam hal ini pasangan diharapkan tahu keadaan ekonomi/kekayaan yang sebenar – benarnya akan si calon. Hal ini penting agar pasangan kelak dapat memperhitungkan kehidupan ekonominya secara tepat setelah pernikahan juga diharapkan tak muncul rasa kecewa dikemudian hari yang bisa menjadi bibit percekcokan. 3. Bobot Bobot berarti kepandaian. Dalam hal ini pasangan diharapkan mengenal betul akan tingkat kepandaian calon pasangan. Agar relasi yang dibangun dalam rumah tangga dapat seimbang dan saling melengkapi. Ketidak seimbangan daya pikir pasangan juga bisa menjadi pemicu ketidak harmonisan rumah tangga. Dalam melihat neptu, ada dua hal yang perlu diperhitungkan. Pertama soal hari kelahiran calon pasangan dan yang kedua soal hari pelaksanaan perkawinan. Dalam hal dalam tradisi jawa ada sepuluh jenis penghitungan hari dari Eka Wara sampai Dasa Wara. Namun dari sepuluh jenis perhitungan hari tersebut kebanyakan hanya dua perhitungan hari yang gunakan sebagai perhitungan utama yaitu Panca Wara dan Sapta Wara. Panca Wara yaitu perhitungan hari sesuai hari pasaran yang terdiri dari lima hari yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Paing. Lalu yang ke dua adalah Sapta Wara, perhitungan hari yang digunakan secara umum yaitu hari Minggu – Sabtu. Masing – masing hari tersebut mempunyai nilai hidup/neptu. Di bawah ini table Sapta Wara dan Panca Wara secara lengkap.
Dalam hal mempertimbangkan jodoh menurut hari kelahiran ada beberapa cara untuk menghitungnya. 1. Perhitungan jodoh berdasarkan Sapta Wara kelahiran pasangan. Ada keyakinan bahwa seseorang dengan kelahiran masing – masing pasangan akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan pasangan tersebut. Berikut contoh perhitungan tersebut.
2. Perhitungan jodoh berdasarkan gabungan neptu. Perhitungan menurut gabungan neptu caranya adalah menggabungkan neptu Panca Wara dan Sapta Wara dari Pria dan Wanita kemudian jumlahnya tersebut dibagi. Ada dua cara perhitungan yaitu dibagi 5 dan 4. Sisa dari pembagian tersebut yang diperhatikan untuk dilihat maknanya. Berikut table perhitungan dengan cara menghitung gabungan neptu. Gabungan Neptu dibagi 5
Gabungan Neptu dibagi 4
3. Perhitungan jodoh berdasarkan jumlah neptu. Menghitung berjodohan berdasarkan jumlah gabungan netpu dilakukan dengan cara menjumlah Sapta Wara dan Panca Wara pasangan. Kemudian masing – masing dibagi 9. Sisa pembagian pihak pria diletakkan di depan dan wanita dibelakang. Contoh table perhitungan dengan cara ini.
Selain memperhatian Bibit, Bebet dan Bobot tersebut, dalam tradisi jawa memilih tanggal, hari dan bulang yang baik juga dipercaya mempunyai peran penting bagi pasangan untuk mewujudkan harapannya. Dalam hal mempertimbangkan perjodohan dalam memilih hari pelaksanaan pernikahan. 1. Baik Buruknya Sapta Wara
2. Baik Buruknya Tanggal Ada kepercayaan tanggal – tanggal yang baik digunakan untuk melangsungkan pernikahan adalah tanggal – tanggal setelah bulan tidur. Yaitu dari tanggal 1 – 15. 3. Baik Buruknya Sasi/Bulan
Hal – hal yang diuraikan di atas merupakan tradisi turun menurun yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Entah bagaimana awal mulanya, sehingga para leluhur mampu membuat perhitungan – perhitungan semacam itu, saya sendiri tidak tahu. Namun hingga kini, masih banyak masyarakat yang menggunakan perhitungan – perhitungan semacam ini dalam memilih jodoh dan melakukan pernikahan. Mereka yang takut melanggar tradisi – tradisi semacam ini masih cukup banyak. Namun tak kalah banyak pula yang sudah tidak lagi menghiraukan perhitungan – perhitungan semacam ini. Semua kembali ke manusianya, saat mempunyai kehendak dan keyakinan yang kuat, bukan tak mungkin itu sebetulnya kunci utama dalam memperoleh kebahagiaan dalam berumah tangga, dan seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan, perjodohan adalah sekali untuk seumur hidup. Semoga!
Cetak Halaman Ini